Sepenggal kalimat Jania Hasan, seorang ibu rumah tangga yang ketiga anaknya bisa menyelesaikan kuliah dari pala. Dari menjual biji-biji pala cokelat kehitaman ke kios atau pengepul. Melalui biji pala, kehidupan tumbuh, berkembang, dan bertunas di Bobane Indah, Maluku Utara.
“Tong hidup dari ini toh, pala ini. Kalau tong tara punya beras, tinggal bawa tong punya pala ini ke kios, bisa dapat beras. Kalau pala ini sampai diganti sawit, tong tidak rela. Kalau bisa, sebelum sawit itu masuk, tong saja mati duluan.”
Pala, Simbol Kehidupan Masyarakat Adat Patani
Maluku Utara, dengan luas daratan mencapai sekitar 4,5 juta hektare, adalah negeri kepulauan yang istimewa. Terdiri dari hampir 1.500 pulau dan hanya empat di antaranya adalah pulau besar, yaitu PulaubBacan, Obi, Morotai dan Halmahera. Ini menjadikan Maluku Utara, sangat Indonesia. Indonesia yang di mata dunia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar. Keanekaragaman hayati kepulauan menopang kehidupan masyarakat Maluku Utara yang umumnya menjadi petani dan nelayan. Selama ini mereka tidak pernah kekurangan bahan makanan dan hidup berkecukupan. Mayoritas petani mengusahakan tanaman kakao, kelapa, dan terutama pala ataupun cengkeh.
Halmahera, pulau terbesar di Maluku Utara, berbentuk seperti huruf K hendak jatuh. Ujung kaki depannya, dimana masyarakat adat Patani berada, adalah daerah pala. Masyarakat adat Patani di Desa Bobane Indah, Kecamatan Patani Barat, Halmahera Tengah, mengenal pala (Myristica fragrans) dari orangtua mereka. Semenjak lahir, mereka telah menghirup aroma biji pala yang wanginya selalu memenuhi rumah. Anak-anak, sejak umur 3 tahun sudah diajak ke kebun untuk mengenal tanaman pala dan mengumpulkannya. Tidak hanya Ibu Jania Hasan, 70% masyarakat adat Patani di Bobane Indah bertanam pala (Badan Pusat Statistik, 2015). Dari pohon pala, anak-anak di Bobane Indah dapat bersekolah hingga kuliah, sementara orangtua mereka, dapat menunaikan ibadah haji.
Kearifan yang Menyelamatkan
Pala adalah tanaman yang ramah. Ia toleran terhadap keberadaan tanaman lain. Bersama dengan pala, masyarakat biasa menanami kebun mereka dengan kelapa dan cengkeh.
Pala juga menjadi simbol penghormatan mereka kepada alam. Tanaman pala tidak bisa hidup tanpa naungan. Pepohonan hutan memberikan naungan itu, sehingga tanaman pala bisa tumbuh baik. Dengan begitu, masyarakat adat Patani tidak mengizinkan pembabatan hutan dan tetap menjaganya dengan baik. Hutan yang tetap lestari, sekaligus melindungi cadangan air mereka.
Selain pala yang ditanam di kebun, masyarakat adat Patani juga mengenal pala hutan, yaitu pala yang tumbuh liar di dalam hutan, yang disebarkan oleh burung-burung. Secara adat, hutan telah dibagi menjadi beberapa kelompok, sehingga tiap orang dalam kelompok dapat memanen pala hutan di wilayah pembagiannya. Pala hutan dipanen, terutama bila ada anggota masyarakat yang tidak bisa memanen pala di kebunnya. Model pembagian cadangan pala ini sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat adat Patani.
Dalam memanen buah pala, dikenal satu kesepakatan bersama. Buah-buah pala yang jatuh ke tanah boleh diambil oleh siapa saja, kecuali pemilik pohon. Biasanya buah-buah pala ini akan diambil oleh orang lain yang sedang tidak bisa memanen pohon palanya sendiri. Atau kadang-kadang oleh anak-anak kecil yang menginginkan uang jajan lebih. Memungut buah pala yang jatuh, adalah kearifan yang menyatukan masyarakat adat Patani. Mereka saling mengikat diri untuk saling memberikan rasa aman kepada sesama anggota komunitas.
Pala, bagi masyarakat adat Patani, bukan hanya menjadi simbol kekuatan ekonomi, melainkan juga kekuatan sosial.
Sumber: Forest Watch Indonesia
Add comment